Jumat, 09 Oktober 2009

sebelas duabelas (belajar bikin cerpen.red)

Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur kamarku segera sesampaiku di rumah. Kusadari aku sudah benar-benar merasa penat dan suntuk akhir-akhir ini, mungkin puncaknya adalah sewaktu pulang sekolah di bus kota siang tadi.

Entah kenapa, rasanya gerah sekali aku mendengar celotehan Ega. Bukan hanya gerah karena suasana panas hari ini, tapi juga gerah karena kelakuan Ega. Ini di luar kebiasaan. Ega adalah sahabat paling dekatku sejak aku masuk SMA. Ia satu kelas denganku dari kelas 1 hingga kelas 3 sekarang. Rumahku pun sekomplek dengannya. Ya, kami seperti pinang dibelah dua yang tiap hari selalu bersama. Hampir setiap hari kami bertukar cerita. Seperti tadi siang.

Aku merasa sangat asing dengan perasaanku saat ini. Aku seharusnya mengerti Ega. Dia sedang patah hati dan aku harus menghiburnya untuk segera berbenah diri.

Aku tahu itu. Bahkan tanpa diberitahu siapapun juga, aku akan mengerti. Tapi entah kenapa Ega sendiri yang membuatku tidak ingin membantunya.

Iya, kali ini Ega membuatku il-feel setengah mati. Sudah sebulan dia putus dari Abi, cowok yang sudah setahun belakangan jadi pacarnya. Dan tentu saja Ega menangis darah saking sedihnya putus dari pacar paling gantengnya itu.

Lalu, apa masalahnya denganku? Satu hal mungkin, aku mulai jenuh dengan cerita sedih yang selalu disampaikan Ega tiap harinya, 24 jam penuh, tujuh hari seminggu, selama sebulan terakhir ini. Semenjak mereka putus hubungan, selalu saja ada cerita tentang Abi dari Ega yang diceritakan padaku.

Hari ini pun begitu. Diawali dari jam istirahat pertama dan kedua yang biasa kuhabiskan dengannya di kantin dan mushola sekolah. Ia berceloteh banyak soal Abi.

”Miaaaa, akhirnya kamu datang juga! Udah ngerjain PR matematika belum?” teriak Ega saat aku memasuki ruangan kelas.

Mataku menyipit dan memasang tampang bodoh karena kaget tiba-tiba disambut dengan cerita baru Ega. Aku menaruh tas di samping tempat duduk Ega dan mulai memasang telinga untuk mendengar cerita selanjutnya. Dan seperti cenayang, aku mulai bisa menebak ke arah mana cerita PR matematika ini akan berlanjut. Abi. That’s exactly the real point. Satu pagi lagi kuhabiskan menu sarapan ”sandwich Abi” a la Ega.

Beranjak siang ketika bel pulang sekolah berbunyi, Ega menggandengku keluar gerbang sekolah dan mangajakku menyeruput segarnya es cendol di depan sekolah.

”Mia, mau ngadem nggak? Aku bisa telepon Abi buat jemput kita disini,” tanya Ega setelah aku membawakannya segelas es cendol.

”Abi? Bukannya kalian udah...,” jawabku terbata.

”Aaaaa, Miaaaa. Aku lupa kalau aku udah putus sama Abi. Miaaa, I just can’t forget him,” rengeknya tiba-tiba.

Aku baru tahu kalau orang patah hati bisa amnesia mendadak. Kupeluk Ega dan mengajaknya segera ke halte bus untuk pulang.

”Oh Tuhan! Aku bosan!” teriakku di dalam kamar.

”Kamu kenapa? Teriak-teriak sendiri seperti orang gila,” kata Mbak Anggrek yang tiba-tiba muncul dari kamar mandi dalam kamarku.

”Ya ampun, Mbak. Mbak ada di kamar mandi dari tadi? Bikin kaget aja,” kataku menengok ke arah kakak semata wayangku itu.

”Iya, Sayangku. Kenapa kamu? Aneh begitu,”

”Bete sama Ega. Kenapa sih, Mbak, dia tiap hari harus cerita masalah Abi? Yang Abi ternyata sudah punya gebetan baru, yang Abi makin ganteng, yang Abi sudah mulai lupa sama dia, dan cerita Abi yang lainnya. Aku bosan, Mbak. Aku juga pengen curhat ke dia masalah latihan ujian besok. Tapi sepertinya, masalah orang lain itu nggak ada penting-pentingnya. Dia selalu saja bahas masalah Abi. Padahal Mbak tahu, Ega itu sama aku dari jam pelajaran pertama sampai pulang sekolah sama-sama, itu pun semuanya ngomongin Abi. Dan Mbak tahu? Tadi bisa-bisanya dia amnesia kelupaan kalau dia udah putus sama Abi. Aneh kan??” cerocosku sambil melepas sepatu yang masih kupakai sejak tadi.

”Eh, pelan-pelan kalau ngomong. Kamu itu nyerocos aja. Kamu itu aneh, kenapa juga mesti bete dicurhatin begitu sama Ega? Dia kan sahabat kamu. Mestinya kamu bisa buat dia sedikit lupa sama mantannya itu. Bukan malah marah-marah begini,”

Aku tahu Mbak Anggrek akan bilang begitu. Dia memang termasuk orang yang nrimo alias pasrah sama keadaan.

”Iya, Mbak. Aku tahu aku harus bantu Ega. Tapi bosan juga kan setiap hari aku harus dengar dia cerita soal Abi. Kita udah kelas tiga, Mbak. Aku kan juga pengen kaya teman-teman yang lain. Suka bahas soal-soal persiapan ujian. Tapi tiap pegang soal, selalu ingat sama Abi. Itu pun cuma karena Abi itu pernah satu tempat les sama dia. Nggak nyambung kan? Sebel-sebel pengen ketawa gitu aku, Mbak,”

Mbak Anggrek terkekeh pelan. Kali ini dia mulai memberiku banyak wejangan sambil membetulkan baju-baju yang berantakan di kamarku. Tapi kali ini juga, aku tertidur. Suara mbak Anggrek memenuhi mimpiku.

***

Panas kota Solo menyengat di kulitku. Sudah setengah jam aku menunggu bus kota tercintaku untuk pulang. Tentu saja dengan Ega di sampingku. Dan tentu saja dengan cerita-cerita baru Ega tentang Abi.

Tunggu, ini bukan cerita baru, sepertinya Ega sudah menceritakannya padaku tadi pagi. Aku tetap mendengarkannya. Masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Hingga rasanya aku bisa membuat satu novel tebal tentang Abi yang baru kukenal dua tahun belakangan ini.

”Mia, kamu mesti tahu gimana ekspresi cewek itu pas tahu kalau aku mantannya Abi. Dia kaget banget! Bisa bayangin kan, Mi?” cerita Ega saat kami berdua sudah berada di dalam bus kota yang mulai penuh sesak ini.

”Dan kamu tahu, Mi, kayanya mereka nggak bakal awet deh. Abi itu bukan tipe cowok yang cocok sama anak SMP,” lanjutnya.

Aku manggut-manggut dibarengi dengan tatapan mata orang-orang dalam bus yang mulai terganggu dengan lengkingan suara Ega. Malahan, ada satu ibu-ibu yang melotot ke arah Ega karena ia sedang berusaha menidurkan anaknya di dalam bus itu.

”Iya, Ga. Ceritanya nanti lagi lewat telepon yah?” kataku.

”Aah, nggak seru. Nanti malam ada acara ulangtahun Edo di rumah. Aku nggak mungkin bisa telepon kamu, Mi. Eh, kamu nanti malam ke rumahku aja. Lumayan banyak makanan sekalian kita bisa cerita-cerita gitu. Ajakin Mbak Anggrek juga ya? Biar Mas Emir bisa flirting juga, hehe,”

”Iya gampang, Ga. Jangan nengok! Arah jam 2-ku, Ga. Kamu udah kaya mau ditelan sama ibu itu,” kataku pelan. Ega menoleh dan terdiam. Aku cekikikan karenanya.

***

”Aaaaaaaaaaaaaaaaaaa. Mbak Anggrek!! Another boring story tentang Abi. Aku capek dengar cerita Ega. Tadi aja di bus kita sampai jadi pusat perhatian gara-gara Ega. Aku mesti gimana, Mbak?” teriakku histeris setelah sampai di rumah.

”Apa, Ras? Mbak nggak dengar. Oh ya, Ras, minggu depan Mbak ujian skripsi. Kamu harus ikut lho ya!” teriak mbak Anggrek dari arah dapur. Aku segera menghampirinya dan meneguk segelas air putih disana.

”Bisa, kan, Ras?” tanya Mbak Anggrek lagi.

”Apanya, Mbak? Oh ya, tadi aku belum cerita kan. Tadi Ega cerita kalo Abi ternyata suka sama anak SMP gitu. Trus cewek itu dikenalin ke Ega. Nah Ega bingung. Intinya itu sih, Mbak. Tapi mesti ditambah-tambahin cerita lama dia sama Abi dulu. Aduuuhh! Jadi panjang banget ceritanya. Nggak ada selesainya. Diulang terus. Sangat membosankan,” ceritaku panjang lebar sambil melahap sepotong kue pukis.

Mbak Anggrek nggak berkomentar apapun.

”Rasti sayang, boleh Mbak ngomong?” kata mbak Anggrek tiba-tiba, saat aku melenggang beranjak menuju kamarku. Aku mengangguk dan menoleh ke arahnya.

”Kamu itu sama saja dengan apa yang kamu omongin. Kamu cerita setiap hari kalau kamu bosan dapat cerita membosankan dari Ega masalah pacarnya.

Lalu, kenapa kamu nggak mencoba untuk sedikit berkaca, Sayang? Kamu jadi seperti dia yang tiap hari cerita masalah Ega ke aku. Kamu lupa waktu kalau cerita masalah Ega. Seakan nggak ada masalah lain yang lebih parah selain bagaimana Ega berubah menjadi sahabat paling menyebalkan di dunia. Sadar nggak kamu? Apa kamu ingat kapan Mbak akan ujian skripsi dan minta kamu untuk datang?”

Aku terdiam. Kue pukis dalam mulutku pun rasanya menjadi sangat hambar. Mbak Anggrek ada benarnya, bahkan mungkin sangat benar.

Aku sama saja dengan Ega yang tiap hari kuceritakan pada mbak Anggrek. Mungkin, aku juga sampai tidak tahu bagaimana keadaan mbak Anggrek, ternyata minggu depan ia akan ujian skripsi, hal yang paling ditunggunya selama ini.

Senyum simpulku terkembang. Aku berjanji pada diriku sendiri akan menemani hari-hari Ega, mendengar ceritanya, dan membantunya bangkit dari keterpurukan setelah patah hati dari Abi. Tanpa basa basi, kupeluk mbak Anggrek dan kucium dua pipinya.

”Makasih, Mbak. Aku sayang kamu.”

”Iya, Sayang. Jadi, besok masih ada another boring story lagi?”

“Depends. Tapi besok aku nggak bakal dengerin cerita Ega pakai kuping lagi,”

”Lalu?”

”Pakai hati dong!” kataku mantap disambut senyuman lebar Mbak Anggrek dan cubitan di pipiku.

***

Solo, Desember 2008